*) Renungan oleh : Ibu Justina Ruly S
**) Kredit Foto : Google Image
Share on Facebook
Bulan Juli tahun ajaran baru, Bapak Ibu yang putra-putrinya masuk ke jenjang sekolah lebih tinggi, entah SD, SMP, SMU , atau yang lebih tinggi pasti sudah mulai “ribet” dari dulu. Ada yang sejak bulan Maret, Februari bahkan ada yang dari Januari sudah mulai proses penerimaan siswa baru. Di bulan Juni saya belanja di bazar sekolah membeli seragam dan buku pelajaran untuk 2 anak sekaligus, wuaduh terasa benar cashflow rumah tangga jadi terganggu.
” Kalau Ibu sih enak...dua-duanya kerja, tidak perlu pusing pas negosiasi sumbangan pendidikan.” begitu ujar mama teman Seno yang sama-sama daftar SD. Glek... saya cuma bisa menelan ludah, spechless habis. Puji Tuhan, orang-orang melihat dari sisi enaknya seorang Ibu bekerja, berangkat rapi, mungkin juga wangi, bertemu banyak relasi dan terima gaji. Tapi pernahkah membayangkan di balik sisi enaknya itu ada P4- pergi pagi pulang petang, ritual pagi dengan rengekan anak , ”Ibu jangan kerja...”, cuti tahunan yang tidak pernah dinikmati karena habis terpotong untuk anak sakit, ambil rapor atau menggantikan pembantu yang pulang kampung, perasaan sungkan dengan teman sekantor karena ”teng-go” tepat waktu pulang (”Pindah kerja di rumah.”, begitu saya sampaikan kalau di lift bertemu teman yang menyapa ” Pulang Bu?”... ya iyalah pulang masa mau nginep di kantor...), rasa bersalah kehilangan momen-momen istimewa dalam hidup anak-anak, betapa inginnya saya sehari 30 jam supaya bisa punya lebih banyak waktu bersama anak-anak.
Jangan salah, saya juga suka ”sirik” melihat ibu-ibu sambil menunggu anak sekolah bisa mengisi waktu dengan senam, bertukar gosip terbaru dari infotaiment tentang Manohara atau Cici Paramida. Atau kalau pas keluar makan siang melihat ibu-ibu gaul arisan di mall, ” Lihat tuh emak-emak di sana, enak juga tuh jam segini nyantai arisan dan ngegosip. Benar-benar pembagian kerja yang adil, suaminya nyari uang, istrinya yang menghabiskan uang...,” begitu bisik teman sekantor saya. ”Iya tuh, kasihan suaminya kan kalau duitnya gak habis-habis.. hehe... Ah kita aja yang sirik kaleee...” begitu ujar saya. Kami berpandangan dan tertawa, Iya juga sih, sementara ibu-ibu tersebut masih asyik menggelar entah perhiasan, parfum atau baju butik, kami sudah harus tergopoh-gopoh kembali ke kantor untuk kerja lagi. Budaya kerja Bung, tidak boleh masuk atau balik ke kantor telat. Kalau pulang dari kantor telat baru tidak apa-apa. Huh... bagaimana kami para ibu bekerja tidak jadi ”sirik” kronis???
Kalau sekarang saya membayangkan enaknya jadi ibu rumah tangga, hanya karena saya sekarang bukan di posisi tersebut. Saya pernah off dari kantor untuk cuti belajar selama 2 tahun.. merasakan segala kerepotan mengurus rumah dan anak-anak... pekerjaan yang tidak ada habis-habisnya. Saya acungkan dua jempol (kalau perlu empat jempol dengan jempol kaki) untuk ibu rumah tangga. Benar juga kalau ada yang bilang ” Motherhood is a tough 24 hours job: No pay, no day off, often unappreciated dan yet resignation is imposible..” Ya iyalah, kalau di kantor saya ada program pensiun dini, mana bisa kalau bosan jadi ibu terus bilang, “ saya mau resign saja deh…”
Begitu juga mama teman Seno yang menyatakan enaknya Ibu bekerja, pasti juga dalam posisi bukan sebagai ibu bekerja. Hidup adalah pilihan dan tiap pilihan pasti membawa konsekuensi serta risiko yang harus dihadapi. Pernah dengar ungkapan “ Rumput di halaman rumah tetangga selalu lebih hijau dari rumah sendiri” ? Itu membuat kita jadi kurang bersyukur.
Beberapa hal yang sering membuat kita tak bersyukur antara lain, pertama kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki.
Kedua kita cenderung membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. Padahal di manapun kita, selalu ada orang yang menurut kita lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih kaya, lebih ini dan itu.
Ketiga kita cenderung tidak pernah mencukupkan diri dan serakah. Bagaimana tidak serakah coba, kalau saya pengen punya banyak waktu luang, bisa selalu mendampingi anak-anak, praktek resep masakan baru, tapi pas bosan di rumah tetap punya kesempatan untuk aktualisasi diri, bersosialisasi dan membangun relasi. Pengennya punya uang pas, tidak berlebihan: pas pengen jalan-jalan ada uangnya, pas pengen beli mobil ada uangnya, pas mau ganti hp ada uangnya, pas pengen beli berlian ada uangnya... hahaha...semua orang juga mau begitu Bu...
Bersyukur, kata kunci untuk berdamai dengan diri sendiri. Menuliskan dan menyatakannya memang mudah, tapi tidak semudah itu untuk menjalankannya... berjuang dan terus berusaha untuk bersyukur...bersyukur... bersyukur...
J Ruly S
Wednesday, July 15, 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)